Senin, 17 Desember 2007

My beloves

Ya Allah sayangi dan kasihilah ayah dan Ibuku seperti mereka menyayangi dan mengasihiku semasa aku masih keci.

Jika ditanya siapa yang kamu cintai dan sayangi diantara makhluk bumi ini? aku jawab ayah dan ibuku. Mereka membuat aku terlahir di dunia ini, dan dengan susah payah mereka mendidik dan membimbingiku untuk tumbuh dengan baik, baik secara fisik atau sprituil. teringat ketika ku nakal dan bandel seapapun mereka dengan penuh kasih sayang menunjukan jalan dan membimbing untuk menunju jalan yang di ridho Allah.

Saat ini setelelah 6 tahun lalu ayahku menikahkan aku dengan seorang pria yang sangat baik dan penyayang, aku jauh dengan mereka tapi kasih dan sayang mereka masih mengalir terus menerus bahkan saat ini berlanjut ke bidadari kecilku.

Saat ini ayahku sakit keras dan membutuhkan pengobatan kondisi perekonomianku carut marut karena aku harus bantu dana pendidikan s3 suamiku. Ya Allah berikan aku kemudahan untuk menemukan rejekimu untuk biaya pengobatan ayahku, meski aku tahu beliau tidak akan pernah mau menerima bantuanku. Ayah, I love you so much... I never repy your love with everything in the world.

Minggu, 16 Desember 2007

It's me


I'm Dini Irawati. I live at Samarinda East Kalimantan Ina. I'm English teacher. I'd like to invite you"let share"everthing related with eduaction.I'll wait you......
PEMBELAJARAN LITERASI ANAK USIA DINI
Dini Irawati

1. Pendahuluan
Secara umum, hasil pendidikan kita belum memuaskan. Hal itu tercermin pada laporan beberapa lembaga internasional berkenaan dengan tingkat daya saing sumber daya manusia kita dengan negara-negara lain. Dalam Raka Joni (2005) dilaporkan berdasarkan catatan dari Human Development Report Tahun 1996 versi UNDP, peringkat HDI (Human Develompment Index) atau kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia (SDM) berada di urutan 102 dari 174 negara, tahun 1999 peringkat 105 dari 174, dan tahun 2000 peringkat 109 dari 174 Negara. Peringkat tersebut terus penurunan, sehingga SDM Indonesia berada jauh di bawah Filipina (77), Thailand (76), Malaysia (61), Brunei Darussalam (32), Korea Selatan (30), dan singapura (24). Organisasi internasional yang lain juga menguatkan hal itu. International Educational Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca anak-anak SD Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang disurvey. Sementara itu, Third Matemathics and Science Study (TIMSS), lembaga yang mengukur hasil pendidikan di dunia, melaporkan bahwa kemampuan matematika anak-anak SMP kita berada di urutan 34 dari 38 negara, sedangkan kemampuan IPA berada di urutan ke-32 dari 38 negara.
Dalam konteks peningkatan kemampuan baca-tulis anak-anak Indonesia, laporan yang dibuat International Educational Achievement (IEA) di atas menunjukkan posisi ketercapaian pembelajaran bahasa Indonesia SD. Salah satu survei yang didanai Proyek Bank Dunia menyebutkan bahwa sekitar 50% siswa SD kelas IV di enam provinsi daerah binaan PEQIP (Primary Education Quality Improvement Project/Proyek Peningkatan Kualitas Pendidikan Dasar) di Indonesia tidak bisa mengarang (Republika, 2 Maret 1999). Menurut Aisyah & Arismanti (1990) keterampilan baca-tulis merupakan modal utama bagi murid. Dengan bekal kemampuan baca-tulis, murid dapat mempelajari ilmu lain; dapat mengomunikasikan gagasannya; dan dapat mengekspresikan dirinya. Kegagalan dalam penguasaan keterampilan ini akan mengakibatkan masalah yang fatal, baik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, maupun untuk menjalani kehidupan sosial kemasyarakatan. Namun, modal utama yang penting ini, masih belum merata dimiliki para murid. Banyak murid yang masih belum dapat membaca dan menulis. Dalam Harian Kompas (26 juli 1999) dilaporkan bahwa di Propinsi Irian Jaya ada murid berijazah SD tidak dapat membaca. Bahkan ada siswa kelas 1 SMP Timika yang mengaku tidak dapat membaca apa yang ditulisnya. Hal tersebut di atas, menurut Stuart Weston dalam Anonim (2005) disebabkan selama ini siswa SD lebih banyak mendapat pelajaran menghafal, daripada praktik termasuk mengarang, kata pemerhati pendidikan asal Inggris yang juga konsultan Wold Bank mengenai proyek pendidikan dasar untuk Indonesia.
Masalahnya, mengapa hasil pembelajaran bahasa Indonesia masih sangat rendah? Tentu jawabannya pembelajaran belum maksimal. Anonim (2006) menunjukkan fakta di lapangan bahwa sejauh ini, belum banyak hasil yang dicapai oleh pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar maupun sekolah menengah. Fokus pembelajaran bahasa Indonesia hanya pada tata bahasa, yang relevansinya dengan kebutuhan berbahasa kurang. Oleh sebab itu disarankan agar topik tata bentukan kata bahasa Indonesia dikurangi, atau diajarkan 'sambil lalu' dalam kegiatan kreatif berbahasa, seperti dalam latihan menulis. Bisa dipahami jika kemudian ditemukan fakta bahwa kemampuan baca-tulis anak-anak Indonesia lemah dibandingkan dengan kemampuan baca-tulis anak-anak negara lain.
Di sadari bahwa tugas guru bahasa tidaklah ringan, dalam mengantar generasi menjadi masyarakat laterat apalagi dalam era multilingual. Banyak bukti bahwa guru belum berhasil dalam pengajaran bahasa. Anonim (2005) mengatakan harapan pengajaran bahasa Indonesia dikelola agar anak-anak memiliki keterampilan-keterampilan praktis berbahasa Indonesia, seperti (1) menulis laporan ilmiah atau laporan perjalanan, (2) membuat surat lamaran pekerjaan, (3) berbicara di depan umum atau berdiskusi, (4) berpikir kritis dan kreatif dalam membaca, atau (5) membuat karangan-karangan bebas untuk majalah, koran, surat-surat pembaca, brosur-brosur, dan sebagainya. Apapun bahan atau aturan-aturan bahasa yang diberikan kepada anak-anak, dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis semacam itu, namun kenyataannya belum tercapai. Belum lagi kemampuan anak berbahasa Inggris dalam era kesejangatan ini yang sangat minim dan sudah menjadi tuntutan global, anak harus dipacu memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang berbarengan dengan penguasaan anak akan kemahirwacanaan dalam bahasa Indonesia. Sadtono (1997) mengatakan: teaching English in formal schooling is like flogging a dead horse.
Dalam fenomena itu, kurikulum yang bagaimanakah yang diinginkan agar kompetensi komunikatif bahasa Indonesia dapat dikuasai oleh anak-anak dengan maksimal dan dapat diantisipasi sejak anak usia dini? Kecenderungan (Trend) yang dikemukakan UNESCO sampai tahun 2015 pada garis pedoman pendidikan bahasa (quidelines on language and education) yang saat ini sedang berkembang di negara-negara maju (Amerika, Australia dan negara-negara di Eropa) adalah upaya mewujudkan pendidikan melalui pembangunan kemahirwacanaan (literacy education). Sasarannya adalah agar setiap warga negara mampu berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mengikuti trend itu, pengajaran bahasa Indonesia diarahkan sebagai sarana pengembangan kemampuan berbahasa yang menjadikan siswa mandiri sepanjang hayat, kreatif, dan mampu memecahkan masalah dengan cara menggunakan kemampuan berbahasa Indonesia. Pada prinsip I, UNESCO mengatakan literacy can only be maintained if there is adequate supply of reading materials, for adolescents and adults as well as for school children, and for entertainment as well as for study. Oleh Alwasilah (2005) dikatakan bahwa kompetensi utama yang dituju melalui pendidikan bahasa adalah kompetensi keberwacanaan (literacy competence), yakni kemampuan berkomunikasi lisan maupun tulis dalam berbagai peristiwa komunikasi.
2. Konsep Literasi (literacy)
Secara sederhana, literasi (literacy) berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut seperti dikutip (Bukhori 2005) dalam buku Literacy: Profiles of America’s young adults mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya. Lebih sederhana lagi dikemukakan oleh Alwasilah (2005) ) Literasi adalah budaya baca-tulis, kebalikan dari orasi yakni budaya dengar-ucap. Orang berpendidikan disebut literat karena mampu melakukan keduanya. Sejalan dengan pengertian di atas, Grabe & Kaplan (1992), Graff, (2006) literacy adalah mampu untuk membaca dan menulis (able to read and write), sedangkan orang yang mampu keduanya disebut literat. Untuk melengkapi konsep mengenai literasi, (Cooper, 1993, Baynham, 1995) dalam Gipayana (2004) mengatakan di samping kemampuan baca-tulis, literasi meliputi juga kemampuan berbicara, menyimak, dan berpikir sebagai elemen di dalamnya Seseorang disebut literat apabila ia memiliki pengetahuan. dan kemampuan yang benar untuk digunakan dalam setiap kegiatan yang menuntut fungsi literasi secara efektif dalam masyarakat; dan keliteratan yang diperolehnya melalui membaca, menulis, dan aritmetika itu memungkinkan untuk dimanfaatkan bagi dirinya sendiri dan perkembangan masyarakatnya, dan sebagai acuan untuk membantu siswa memiliki kemampuan literasi seperti orang dewasa (Kendall, 1997). Demikian juga, Shuy 1984). makna keberwacanaan awal sekarang telah berubah. Pada mulanya maknanya hanya terbatas pada latihan menulis yang harus dijalani seorang anak supaya dapat menulis serapi tulisan orang dewasa. Anak tidak didorong untuk berbahasa kreatif dan alamiah. Sekarang makna keberwacanaan awal diartikan sebagai perkembangan kemampuan membaca dan menulis anak sejak usia 1 – 6 tahun secara konstruktif yang mengacu kepada fungsi atau tujuan berkomunikasi. Dengan pendekatan ini anak didorong untuk berangkat dari semua pengetahuan relevan yang telah dimilikinya untuk secara aktif membangun sebuah kesatuan yang utuh seperti yang dikehendakinya. Dengan demikian, penelitian bahasa anak telah memasuki dimensi wacana, dan tulisan anak dapat diteliti secara lebih holistis ( dalam Kweldju 1997).
3. Kesiapan Membaca dan Menulis
Dalam hal peran orang tua di rumah, Syafi’ie (1999) mengatakan orang tua biasanya sangat bangga apabila putranya bisa membaca. Oleh karena itu, sedini mungkin diupayakannya agar anaknya bisa membaca. Berbagai cara dilakukan oleh orang tua agar anaknya cepat bisa membaca, misalnya dengan menyuruh anaknya menirukan dia membaca, melatih anak menghafalkan abjad, membelikan lembar kertas pertuliskan huruf-huruf, membelikan kartu-kartu permainan huruf, buku-buku bergambar yang di dalamnya ada tulisan-tulisan pendek tentang gambar-gambar tersebut, dan sebagainya. Keinginan orang tua agar anak-anaknya sedini mungkin bisa membaca itu baik. Jika segala macam upaya yang dilakukan orang tua agar anaknya bisa membaca tersebut dapat berhasil, keberhasilan itu akan memberikan banyak" keuntungan bagi anak dalam berbagai hal. Bila seorang anak sudah bisa membaca sebelum dia masuk sekolah dasar, dia tidak akan mengalami kesulitan ketika mulai belajar di sekolah dasar. Ketika teman-temannya mungkin masih berada dalam kesulitan-kesulitan awal belajar pembaca, dia telah lancar membaca. Dia sudah dapat menikmati berbagai cerita anak dalam buku-buku bacaan awal di sekolahnya. Keadaan ini akan menjadikan anak lebih senang lagi bersekolah. Di samping itu keadaan ini juga bisa memperbesar rasa percaya diri anak-anak, baik di hadapan gurunya maupun di hadapan teman-temannya. Masih berkaitan dengan kesiapan membaca (readiness), Chall & Stahl (2006) mengatakan The earliest stage, readiness, encompasses the skills that young children usually acquire before they can profit from formal reading instruction. Children acquire knowledge of the language and of letter names; they learn that spoken words are composed of separate sounds and that letters can represent these sounds.
Namun dalam kenyataannya, berbagai upaya yang dilakukan oleh orang tua agar anaknya secepatnya bisa membaca, banyak yang tidak berhasil. Anak tidak mau membaca sebagaimana lazimnya orang membaca. Mereka lebih senang bermain-main dengan bukunya daripada "membaca" seperti yang dikehendaki oleh orang tuanya. Dapat dikatakan mereka lebih senang "membaca" menurut cara mereka sendiri. Menghadapi keadaan anaknya seperti itu banyak orang tua merasa bingung. Bahkan banyak yang khawatir, jangan-jangan anaknya tidak 'normal sehingga sulit diajar membaca. Karena merasa khawatir, merasa bingung, tidak jarang orang tua yang berlaku keras dalam mengajari anaknya membaca. Akibatnya malah sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan anak. Anak tidak bisa membaca, bahkan sebaliknya dia akan membenci apa yang oleh orang dewasa disebut membaca. Lebih fatal lagi, anak-anak akan membenci buku atau segala sesuatu yang semacam buku.
Lebih lanjut, Syafi’ie (1999) mengatakan kenyataan di atas seharusnya tidak boleh terjadi. Orang tua perlu mengetahui bahwa "mengajar " anak membaca pada usia balita dengan cara-cara seperti di atas bisa berakibat tidak baik bagi perkembangan anak. Upaya-upaya yang dilakukan oleh orang tua sebagaimana dikemukakan di atas tidak bisa menjadikan anak cepat membaca bahkan sebaliknya anak akan menjadi tidak senang terhadap kegiatan membaca. Apalagi bila orang tua anak ini bersikap keras dalam "mengajar" anaknya membaca, anak-anak usia balita yang belum siap belajar membaca "bisa menjadi korban keinginan orang tuanya". Bisa terjadi anak-anak ini akan mengalami trauma dalam belajar membaca. Orang tua perlu memahami kondisi anaknya yang masih balita itu. Anak-anak pada umur-umur balita tidak boleh diperlakukan sebagaimana perlakuan yang diberikan kepada anak-anak yang lebih besar, apalagi diperlakukan sebagai orang dewasa. Anak-anak memerlukan kondisi baik fisik maupun psikologis yang memungkinkan belajar membaca. Kondisi itu disebut dengan kesiapan membaca (reading readiness atau emergent lileracy). Anak-anak harus dipersiapkan dulu dengan kondisi yang menjadikan mereka berada pada kesiapan membaca. Burns (1996) dalam (Hall,1987) mengatakan kata emergent di sini mengandung makna bahwa perkembangan itu timbul dari anak, yang terjadi secara bertahap dari waktu ke waktu dan beberapa kemampuan mendasar harus ada pada anak. Literacy (kemahirwacanaan) akan muncul ketika kondisi anak baik.
Beberapa konsep dasar untuk memahami bagaimana pertumbuhan kemampuan membaca dan menulis yang muncul dalam kelas yang emergent literacy, Stickland dan Morrow, (1998) dalam Burns (1996) mengungkapkan sebagai berikut. (1) Kemampuan membaca dan menulis adalah kemampuan yang kompleks dengan aspek linguistik, sosial, dan psikologi. (2) Perkembangan kemampuan membaca dan menulis mulai lebih awal, biasanya pada umur 2 atau 3 tahun. Pada umumnya anak-anak yang masuk sekolah telah mengetahui penggunaan bahasa tulis. (3) Anak membangun membaca dan menulis mereka melalui eksperimentasi dan penemuan dengan membawa pengetahuan yang telah mereka miliki sendiri ke dalam situasi baru, mereka membuat hubungan dan mencari pola pada yang tercetak. (4) Pertumbuhan di dalam membaca dan menulis muncul secara bersamaan dengan pertumbuhan bahasa lisan. (5) Anak-anak belajar membaca dan menulis dengan menggunakannya secara aktif untuk tujuan-tujuan nyata. (6) Anak-anak memiliki jenis pengalaman yang berbeda-beda tentang kemampuan membaca dan menulis di rumah. (7) Di samping memberikan latihan subketerampilan membaca, guru menyiapkan kondisi yang memungkinkan anak-anak berpartisipasi di dalam kegiatan membaca dan menulis yang bermakna di dalam kelas. (8) Bila perlu guru terlibat dalam pelajaran bahasa untuk membantu anak membuat hubungan-hubungan dan kemajuan. (9) Penanganan pengalaman nyata/langsung memberikan dasar untuk memahami konsep yang kemudian dapat diperluas di dalam buku-buku. (10) Kegiatan membaca dan menulis terjadi pada hari-hari sekolah bukan pada periode pembelajaran yang terpisah. (11) Perlu diingat bahwa membaca dan menulis adalah proses yang saling melengkapi. Kweldju (1997)sebenarnya sejak awal perkembangan kebahasaan seorang anak, anak telah berbahasa dengan menyadari benar apa fungsi bahasa itu, yaitu berinteraksi dan membangun makna dengan pengasuhnya atau orang lain

4. Menciptakan Lingkungan Literasi yang Kondusif
a. Lingkungan Keluarga
Pakar pendidikan dan perkembangan anak sepakat bahwa lingkungan keluarga adalah lembaga yang pertama memberi corak atas perkembangannya kelak. Sehingga peran keluarga tidak bisa dianggap remeh dalam membantu kematangan anak. Begitu pentingnya lingkungan keluarga, Bukhori ( 2005) mengatakan keluarga sangat dominan dalam perkembangan literacy anak. Hasil riset menunjukkan bahwa umumnya anak mulai belajar membaca dan menulis dari orang tuanya di rumah. Kweldju (1997) mengatakan sebenarnya sejak awal perkembangan kebahasaan seorang anak, anak telah berbahasa dengan berinteraksi dan membangun makna dengan orang tuanya/ pengasuhnya atau orang lain. Mereka akan gemar membaca jika melihat orang tua atau anggota keluarga lain di rumah sering membaca buku, koran, atau majalah. Anak sebenarnya sudah bisa dirangsang untuk gemar membaca bahkan ketika masih dalam kandungan ibunya. Wanita hamil yang sering membacakan buku bagi janin yang sedang dikandungnya cenderung akan melahirkan anak yang kemudian gemar membaca. Lebih lanjut, Burns mengatakan segala yang dipelajari anak secara alamiah tentang bahasa di rumah akan menjadi dasar untuk belajar membaca dan menulis dalam kelas. Berkenaan dengan pemerolehan kemampuan menulis, (Teale dan Sulzby, 1989) dalam Burns (1996) mengatakan bahwa pengalaman awal bahasa tulis dapat muncul pada tahun pertama kehidupan, seperti bermain dengan blok alfabet dan mendengarkan cerita yang dibacakan, meletakkan dasar selama proses belajar membaca dan menulis.

1) Langkah-langkah yang dapat dilakukan
Sebagian besar orang tua dan orang yang ada di sekitar anak belum menyadari akan pentingnya peran mereka mempersiapkan generasi literat. Bahkan mereka beranggapan bahwa persoalan mengajar membaca dan menulis adalah sepenuhnya urusan guru di sekolah. Pandangan ini harus dikikis habis jika kita ingin melahirkan generasi yang memiliki kemampuan yang memadai untuk memasuki kancah global yang amat kompetitif.
a) Bacakan buku sebelum dan sesudah lahir
Kapan kebiasaan membaca mulai ditanamkan? Ada beberapa pendapat mengenai hal ini. Ada yang berpendapat sejak bayi. Ada yang berpendapat sejak anak sudah bisa duduk tenang dan tertarik dengan buku. Bahkan ada yang berpendapat sejak dalam kandungan. Bahkan Doktor Glenn Doman dalam Yulia (2005) menjelaskan bahwa keterampilan membaca sudah dapat diajarkan sejak bayi.
Anak sebaiknya sudah diperkenalkan kepada buku sedini mungkin yaitu sejak anak masih bayi, bahkan sejak dalam kandungan. Memang lebih baik kebiasaan membaca itu sudah dilakukan sejak anak masih di dalam kandungan karena berdasarkan penelitian anak sudah bisa mendengar suara ayah dan ibunya. Hal ini juga terbukti dengan adanya teori perlunya bayi di dalam kandungan mendengarkan musik Mozart. Dengan membacakan buku untuk anak sejak dalam kandungan, orang tua sudah mulai membangun jalinan emosi dengan bayinya. Jika anak itu sudah lahir, dia sudah terbiasa mendengarkan ayah, ibunya dan saudaranya bercerita baginya. Hal ini juga sangat bagus untuk membangun kecerdasan bahasa anak karena berdasarkan hasil penelitian, bayi yang terbiasa diajak berkomunikasi dan dibacakan cerita akan mempunyai kemampuan bahasa yang lebih tinggi dibandingkan bayi yang didiamkan.
Mungkin suatu saat kita akan merasa jengkel jika buku yang diberikan disobek. Bila anak Anda suka menyobek buku jangan berikan buku yang Anda bacakan. Berikan buku pengganti yaitu buku yang terbuat dari kain plastik atau yang terbuat dari hard paper yang cukup sulit untuk disobek. Dari peristiwa itu, jangan sampai membuat anda berhenti memberikan buku, karena sesungguhnya pada saat itu anak melakukan sosialisasi dengan benda yang bernama buku. Apa yang diharapkan bahwa anak akan selalu mencari buku, bahkan ketika ia menangis sekalipun ia akan berhenti menangis saat diberikan buku, karena buku sudah familier dengan si anak. Ini adalah langkah awal kecintaan anak membaca.
Jika dia belum dapat duduk tenang dipangkukan kita untuk dibacakan, berikan saja buku itu sebagai barang mainannya sehingga dia akan membuka-buka sendiri buku tersebut. Jika dia ingin menyobek-nyobek buku, berikan saja koran atau kertas bekas untuk disobeknya karena bayi sebenarnya suka mendengar suara derik kertas yang sedang disobek. Jika anak Anda sudah bisa duduk tenang dan tidak menyobek-nyobek kertas, mulailah membacakan buku-buku cerita bergambar dari kertas untuknya. Anak senang buku-buku cerita bergambar dengan gambar-gambar yang lucu atau yang bentuknya menarik.
Kebiasaan membacakan atau menceritakan buku sebaiknya terus berlanjut di usia anak selanjutnya, bahkan ketika anak berada di usia 2 sampai 3 tahun yang kadang-kadang sangat aktif sehingga tidak mau duduk untuk mendengarkan. Terus bacakan saja buku atau cerita sambil dia bermain karena yang penting anak mendengar. Tidak ada kata terlambat untuk menanamkan minat dan kebiasaan membaca. Umur berapa pun anak Anda saat ini, mulailah menanamkan minat baca ini. Jangan tunggu sampai dia bisa membaca dalam memberikan buku. Belilah banyak buku untuknya, bahkan ajaklah anak Anda ke toko buku untuk memilih buku yang disukainya. Jadikan kegiatan membacakan buku untuk anak ini sebagai habit Anda sendiri. Luangkan paling tidak lima menit setiap hari untuk membacakan buku bagi anak Anda. Ini juga bisa menjadi kebiasaan pengantar tidur yang positif. Jika anak Anda sudah bisa membaca sendiri, inilah kesempatan yang sangat bagus untuk melimpahi dia dengan buku - buku bacaan yang bermutu.
Yulia (2005) mengatakan kegiatan membacakan buku sejak anak masih kecil ini juga berguna untuk mengikat emosi Anda dengan emosi anak Anda khususnya untuk Anda yang sibuk atau jika Anda adalah seorang wanita karier yang mempunyai waktu yang terbatas untuk anak. Dengan meluangkan sedikit waktu secara rutin setiap hari, Anda bisa membacakan buku sambil bercengkerama dengan anak. Anak akan merasakan kedekatan dengan Anda dan mereka akan menanti-nantikan waktu seperti ini sebagai waktu yang dirindukannya. Mereka menyukai kedua hal ini bersama-sama yaitu diceritakan dan dipeluk. Mereka menyukai buku dan waktu bersama Anda.
Memang kita berharap bahwa lingkungan keluarga hendaknya dapat meningkatkan minat baca anak. Bukhori ( 2005) menganjurkan kepada orang tua dan orang yang ada di sekitar anak untuk menggunakan metode membaca nyaring reading aloud bagi anak sedini mungkin. Hal ini bisa mengganti kegiatan mendongeng sebelum tidur yang sudah menjadi tradisi orang tua di masyarakat kita sejak dulu. Seorang ibu juga bisa menumbuhkan kegemaran membaca anaknya dengan mengajak anak melakukan kegiatan yang melibatkan aktivitas membaca seperti membaca resep masakan, sering menulis pesan buat anak dan meminta balasan tertulis, serta meminta anak meminjam buku dari perpustakaan sekolah, jika ia sudah bersekolah. Kegiatan ini adalah langkah awal peralihan dari budaya orasi melalui dongeng ke budaya membaca.
Menurut Nicole Niamic ( The Benefits of Reading to Your Children) dalam Bukhori (2005) membaca nyaring sangat bermanfaat bagi anak. Ia mengatakan, jika orang tua membacakan buku cerita ke pada anak sejak dini, mereka sebenarnya telah mengenalkan anak pada dunia lain yang mengasyikkan. Kebiasaan ini bahkan akan menentukan kesuksesan akademik mereka di kemudian hari. Anak usia dua tahun yang setiap hari sering dibacakan buku cenderung berprestasi lebih baik ketika duduk di TK atau SD dan memiliki kemampuan belajar dan berkomunikasi 2-3 kali lebih baik ketimbang anak yang hanya dibacakan buku beberapa kali saja dalam seminggu. Apalagi dibandingkan dengan yang tidak pernah sama sekali. Riset lebih lanjut mengatakan, anak yang terbiasa membaca atau dibacakan buku sejak kecil cenderung memiliki kemampuan matematika lebih baik. Hubungan membaca dan kemampuan akademik ini tidak ada kaitannya dengan kemampuan ekonomi dan tingkat pendidikan orang tua.
b) Libatkan Anak Belajar dan Bekerja bekerjasama
Untuk menanamkan kecintaan membaca dan menulis sejak dini, Burns (1996) memberikan beberapa saran bagi orang tua untuk menuntun perkembangan kemampuan membaca dan menulis anak di rumah sebagai bentuk keterlibatan langsung orang tua bekerja dan belajar bersama anak, sebagai berikut. (1) Membaca buku gambar, dimulai ketika masih bayi. (2) Orang tua mendengarkan dengan sabar dan mendukung ketika anak berusaha menyatakan sesuatu ide/gagasan dan menjawabnya dengan benar. (3) Memberikan pesan yang ada dalam surat sehingga anak mengerti bahwa tulisan dapat mengomunikasikan pesan. (4) Jelaskan dan baca, bacaan yang bertema keluarga, dorong anak untuk membacanya. (5) Berikan bahan tulisan untuk mendorong mereka menulis pesan, daftar belanja, dan surat-surat. (6) Berikan contoh anda membaca untuk kesenangan dengan membaca buku-buku yang anda senangi. (7) bercakap-cakaplah dengan anak. Jawablah pertanyaan-pertanyaan dengan jelaskan "mengapa dan bagaimana". (8) Berikanlah surat kabar dan majalah. Dorong anak-anak untuk menemukan kata-kata yang berhubungan dengan lingkungan keluarga di iklan-iklan. (9) Nyanyikan lagu-lagu, mainkan jari-jari, membaca puisi anak-anak dan mainkan terka-terkaan. (10) Bawalah anak dalam berkunjung dan perjalanan anda. Gunakan istilah-istilah tertentu ketika mendiskusikan pengalaman, seperti pelayan pesawat terbang, pilot, pintu gerbang, dan tempat bagasi. (11) Libatkan anak dalam kegiatan di sekitar rumah seperti memasak, berkebun, dsb. (12) Kunjungi perpustakaan bagian anak-anak, suruhlah anak mengambil kartu perpustakaan dan meminjam buku-buku yang ada. (13) Bacalah bersama-sama kotak-kotak susu, menu, tanda jalan, kupon, dan bentuk-bentuk tulisan lainnya. (14) Doronglah anak untuk berbicara tentang sebuah buku, ketika anda membagi sebuah cerita.
Penelitian tentang buku cerita di rumah telah mendukung perilaku interaktif berikut yang berpengaruh terhadap kemampuan membaca dan menulis: bertanya, memuji, menawarkan informasi, mengarahkan diskusi, mengaitkan konsep-konsep dengan pengalaman hidup, mencontoh dialog dan respon, dan menukar reaksi-reaksi yang bersifat personal (Stickland dan Morrow, 1990 dalam Burns 1999).
Para pakar seperti (Teale dan Sulzby, 1989) merekomendasikan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di rumah untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis: (1) mendengarkan cerita, (2) menulis pesan-pesan, (3) menceritakan kembali suatu cerita, (4) melibatkan diri dalam permainan drama yang melibatkan kegiatan membaca dan menulis otentik, (5) membaca buku cerita secara bersama-sama, (6) belajar mengeja nama-nama orang, dan (7) mengenal tulisan yang ada di sekelilingnya.
b. Lingkungan Sekolah
Jika lingkungan rumah tangga telah menjalankan fungsinya semaksimal mungkin sebagai upaya membantu mempersiapkan anak agar memiliki motivasi dan kecintaan terhadap aktivitas baca-tulis, maka sudah dapat diprediksikan bahwa anak tersebut akan menunjukkan kemajuan yang sangat baik pada saat memasuki pendidikan yang lebih bersifat formal, misal ketika ia masuk TK. Oleh sebab itu, apa yang telah ditanamkan oleh orang tua terhadap anaknya di rumah harus didukung penuh oleh guru di sekolah sebagai langkah awal seorang anak memasuki periode kesiapan membaca (reading readiness periode). Menurut Burns (1996) masa kesiapan membaca muncul sebelum pembelajaran membaca secara formal, biasanya dari Taman Kanak-Kanak hingga awal kelas satu. Di sinilah peran persekolahan begitu strategis mempersiapkan anak pada periode kesiapan membaca dan sebaliknya akan mejadi fatal bila guru tidak menjalankan fungsi ini dengan sebaik-baiknya.
Sementara itu, para guru Taman Kanak-Kanak (TK) masih berkutat tentang perlu tidaknya murid TK untuk diajari baca-tulis. Sekolah Dasar juga membeda-bedakan murid yang telah dan belum pandai membaca dan menulis. Kecenderungan tersebut misalnya tampak dengan adanya pengelompokan anak yang sudah dan belum pandai membaca dan menulis. Perlakuan itu menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian orang tua dan para guru TK, karena anak didiknya ditempatkan dalam kelompok yang belum pandai membaca dan menulis. Untuk memenuhi tuntutan masyarakat, tumbuh kecenderungan baru berupa pengajaran baca-tulis di TK sebagai persiapan memasuki kelas satu Sekolah Dasar. Padahal, menurut kurikulum, murid TK hanya mendapatkan materi pelajaran yang sifatnya persiapan/mengenal materi pelajaran dalam suasana bermain. Hal ini disesuaikan dengan karakteristik perkembangan jiwa murid TK. Jadi, kalaupun baca tulis diajarkan, hendaknya hal tersebut dilakukan dalam suasana yang penuh keceriaan dan kegembiraan, sesuai dengan perkembangan jiwanya. Para pakar pendidikan bahasa negara barat telah menyinyalir adanya kecenderungan pengajaran yang menyenangkan (joyful learning) dan sesuai dengan perkembangan jiwa anak seperti itu di negara mereka. Mereka mengatakan bahwa kita tidak dapat menerapkan metode baca-tulis untuk anak SD di Taman Kanak-Kanak, seperti yang dinyatakan oleh Teale and Sulzby (1989) & Strickland and Morrow (1989) dalam Aisyah & Arismanti (1990).
Alasan lain untuk tidak menggunakan metode baca-tulis yang ada sekarang adalah karena di negara-negara maju, misalnya di Australia, metode-metode pengajaran membaca dan menulis yang lebih banyak menggunakan ejaan dan pendekatan bunyi (phonic approach) seperti yang banyak dipergunakan di Indonesia, telah lama ditinggalkan. Para ahli literasi di negara-negara maju berpendapat bahwa membaca bukan hanya sekedar membunyikan huruf-huruf tetapi memberi makna pada tulisan (Goodman, 1987 dalam Aisyah & Arismanti (1990). Artinya dengan membaca anak juga berpikir tentang isi bacaan.
Gambaran mengenai implikasi dari pandangan para ahli literasi di negara maju dapat kita lihat di kelas-kelas rendah dan pendidikan prasekolah seperti misalnya di Eropa, Amerika dan Australia. Salah satu kegiatan tersebut adalah dengan membacakan cerita kepada anak. Kegiatan membacakan cerita diyakini dapat mengembangkan kemampuan berbahasa, dan mengajarkan baca-tulis. Hal ini biasa dilakukan dengan menggunakan sebuah Big Book (buku besar). Big Book merupakan buku cerita yang berkarakteristik khusus yang dibesarkan, baik teks maupun gambarnya, untuk memungkinkan terjadinya kegiatan membaca bersama (shared reading) antara guru dan murid. Menurut Aisyah & Arismanti (1990) Buku ini mempunyai karakteristik khusus seperti penuh dengan warna-warni, gambar yang menarik, mempunyai kata yang dapat diulang-ulang, mempunyai plot yang mudah ditebak, dan memiliki pola teks yang berirama untuk dapat dinyanyikan.
1) Proses pembelajaran di kelas
Wells (1987) dalam Alwasilah (2005) menurunkan empat tingkat literasi, yaitu performative, functional, informational, dan epistemic. Tingkat pertama adalah sekadar mampu membaca dan menulis, tingkat kedua adalah kemampuan menggunakan bahasa untuk keperluan hidup atau skill for survival seperti membaca manual atau mengisi formulir permohonan kartu kredit. Bahasa Inggris SMP didesain untuk membekali siswa mencapai literasi tingkat fungsional. Tingkat ketiga adalah kemampuan mengakses pengetahuan dalam bahasa Inggris. Literasi lulusan SMA diharapkan mencapai tingkat ini. Sementara itu, tingkat epistemik adalah kemampuan mentransformasi pengetahuan dalam bahasa Inggris. Tingkat ini dianggap terlalu tinggi untuk tingkat SMA.
2) Kelas yang Emergent Literacy dan Kaya akan Bahan Bacaan.
Suasana kelas akan mejadi penentu berkembangnya potensi anak ke arah yang positif. Penciptaan ruang kelas yang emergent literacy merupakan pusat belajar bagi anak-anak. Menurut Kenneth Goodman (1986) dalam Burns (1996) semua kegiatan selalu mengarahkan anak untuk dapat membaca dan menulis, guru seharusnya menerima anak apa adanya, memahami kemampuan dan kebutuhan khususnya, menemukan cara untuk melayani mereka, dan mendorong mereka dengan penuh kesabaran dan bersemangat.
Membangun lingkungan kelas yang kaya tulisan dapat memotivasi oleh guru agar anak sadar akan tujuan membaca dan menulis. Bahan tulisan dapat diperoleh dari buku-buku dan materi tertulis yang menarik di pusat permainan sehingga mengundang anak-anak untuk membaca dan menulis. Demikian pula bahan cetak/tulisan sekitar anak misalnya, materi iklan dan promosi produk keluarga yang ada di lingkungan rumah/masyarakat dapat dihubungkan dengan pelajaran anak di sekolah. Keuntungan yang diperoleh dengan pengetahuan anak tentang kata-kata di sekitarnya, guru akan memulai mengajarkan huruf/bunyi.
Dalam ruang kelas yang berkembang, lingkungan seharusnya memberikan kesempatan bagi pertumbuhan bahasa yang sama dengan yang terdapat di lingkungan rumah secara alamiah (Holdaway, 1979). Beberapa petunjuk berdasarkan konsep tersebut adalah sebagai berikut (1) Berikan sejumlah materi/bahan yang beragam untuk tujuan menulis dari membaca bertujuan. (2) Letakkan label dan kata-kata kunci di sekitar ruangan yang sejajar dengan mata anak-anak. (3) Aturlah ruangan sehingga anak-anak dapat mengikuti kegiatan kelas dan menjaganya sebagai milik mereka sendiri. (4) Pajankan karya anak-anak sehingga mereka dapat melihat dan mendiskusikannya dengan teman-temannya (dalam satu ruangan papan dan buletin berada di atas lantai). (5) Gunakan bahan bacaan yang mengaitkan dengan kegiatan kelas yang sedang berlangsung.
Guru yang memberi pengalaman kepada siswa dengan pembelajaran terpadu melalui lingkungan mahir literasi (literate environment) ternyata dapat meningkatkan pembelajaran karena anak-anak menggunakan proses-proses yang saling berkaitan antara membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan untuk komunikasi alamiah senyatanya (authentic commmunication) (Salinger, 2001 dalam Anonim 2005)). Lingkungan yang kaya bahan cetakan dan memberi kesempatan untuk menggunakannya akan mendorong anak mengujicobakan dengan literasi. Anak merasa membaca-menulis sebagai cara baru mengomunikasikan sesuatu yang berbeda dengan bahasa lisan. Mereka mengobservasi lingkungan cetakan (sumber-sumber cetakan) dan “bermain” membaca dan menulis. Dengan cara ini mereka merasa bahwa literasi adalah bagian dari perkembangan alamiah mereka (Salinger, 2001). Demikian juga, guru yang memahami bahwa membaca dan menulis sering berkembang secara simultan dapat membantu siswa menemukan kembali kemunculan keterampilan literasi di dalam sebuah konteks yang bermakna (Graves, 2001).

5. Penutup
Untuk mempersiapkan generasi literat, maka sudah saatnya menanamkan budaya baca-tulis sejak dini. Dari berbagai kajian ilmiah, diketahui bahwa kemampuan literasi anak masih rendah jauh tertinggal dari negara-negara yang sudah maju. Oleh sebab itu, gerakan literasi harus dimulai dari lingkungan keluarga, karena bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa peran keluarga sangat dominan dalam mempersiapkan generasi melek huruf memasuki kancah persaingan global.
Pascakeluarga, periode selanjutnya adalah anak akan memasuki jenjang pendidikan yang lebih formal seperti TK yang harus berkoneksitas dengan program pembelajaran, di mana pada fase itu disebut sebagai reading readiness period. Guru TK harus hati-hati dalam menanamkan pembelajaran literasi. Guru TK tetap mengarahkan semua pembelajaran yang didesain kepada pembelajaran bernuansa bermain, menyenangkan (enjoyment).
Semangat gemar membaca-menulis yang sudah ditanamkan pada lingkungan rumah tangga dan dunia TK harus ditransformasikan ke dunia pendidikan yang lebih formal. Untuk selanjutnya, menurut Bukhori ( 2005) sistem pendidikan perlu direformasi agar mampu mengembangkan kemampuan literasi anak sejak dini. Pengajaran di sekolah harus lebih diarahkan pada pengembangan kreativitas dan daya berpikir kritis siswa. Mulai dari sekolah dasar, anak-anak harus dibiasakan dengan tugas membaca dan membuat jurnal atau laporan bacaan. Dengan jurnal mereka memiliki kebebasan untuk mengekspresikan pendapat tentang buku yang mereka baca. Hal ini akan meningkatkan daya nalar dan kritis anak-anak yang merupakan awal lahirnya generasi yang literat. Bila dilakukan dengan benar, daya kritis bisa berdampak positif terhadap kemajuan masyarakat.
Denagan demikian, pemberlakukan kurikulum seyogyanya mendukung gerakan gemar membaca dan menulis sejak awal. Untuk tingkat pendidikan TK dan SD, kurikulum berbasis literasi harus mampu menanamkan reading enjoyment atau ’keasyikan membaca’ dalam diri anak didik. Anonim (2005) mengatakan bahwa kurikulum bahasa dan sastra Indonesia yang akan datang diharapkan memenuhi kriteria pembelajaran bahasa sebagai berikut : a) Lebih banyak berlatih berbahasa nyata siswa (Meaning Focus), b) Tata bahasa hanya untuk membetulkan kesalahan ujaran siswa, c) Keterampilan berbahasa nyata menjadi tujuan utama, d) Membaca sebagai alat untuk belajar (Reading for Learning), bukan sekedar learning to read, e) Menulis sebagai alat berekspresi dan menyampaikan gagasan, f) Kelas sebagai tempat berlatih menulis, membaca, dan berbicara dalam bahasa Indonesia, g) Penekanan pengajaran sastra pada membaca sebanyak-banyaknya karya sastra (puisi/cerpen yang bisa diperoleh siswa dengan mudah di majalah, karangan siswa sendiri, dan h) Pengajaran kosakata untuk menambah kosakata siswa.


DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Siti & Arismanti, Yohana. 1990. Penggunaan Big Book dalam Mengembangkan Kemampuan Berbahasa Anak (Dengar, Cakap, Baca Tulis) di Taman Kanak-Kanak, (Online), http://pk.ut.ac.id/jp/31aisyah.htm%20diakses%2029%20Maret%202006.
Alwasilah, Chaedar A. 2005. Kurikulum Berbasis Literasi, (Online), http://www.educ.utas.edu.au/users/tle/cda/cda-abstracts.pdf.%20%20diakses%2029%20Maret%202006.
Bukhori, Ahmad. 2005. Menciptakan Generasi Literat, (Online), http://pribadi.or.id/diary/2005/06/22/menciptakan-generasi-literat/ diakses 29 Maret 2006.
Burns, Paul C. dkk. 1996. Teaching Reading in Today’s Elementary Schools. Boston: Hunghton Mifflin Company.
Chall, Jeanne S., and Stahl, Steven. 2006. Reading Microsoft® Encarta® [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.
Gipayana, Muhana. 2004. Pengajaran Literasi dan Penilaian Portofoloio dalam Konteks Pembelajaran Menulis. Jurnal Ilmu Pendidikan, 11(1): 59 – 70.
Grabe, W. & Kaplan R. (Eds.) 1992. Introduction to Applied Linguistics. New York: Addison-Wesley Publishing Company.
Graff, Harvey J. 2006 Literacy. Microsoft® Encarta® [DVD]. Redmond, WA: MicrosoftCorporation 2005.
Kendall, Jauh S. & Marzano, Robert J. 1997. Kontent Knowledge : A Compendium of Standars and Benchmarks for K-12. USA: Mid-continent Regional Education Laboratory, Inc.
Kweldju, Siusana 1997. Perkembangan Dimensi Fungsional Awal Keberwacanaan Tulis Anak: Sebuah Studi Kasus. Dalam Bambang Kaswanti Purwo (Ed). Pelba 10 (hlm. 38 – 68 ). Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.
Raka Joni, T. 2005. Pembelajaran yang Mendidik: Artikulasi Konseptual, Terapan Kontekstual dan Verifikasi Empirik. Makalah disajikan dalam Seminar Paradigma Pembelajaran yang Mendidik di PPS Universitas Negeri Malang, Malang, 28 Mei.
Sadtono, E.(Ed.).1997. The Development of TEFL in Indonesia. Malang: IKIP Malang.
Syafi’ie, Imam. 1999. Pengajaran Membaca Kelas-kelas Awal Sekolah Dasar. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pengajaran Bahasa Indonesia pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Negeri Malang tanggal 7 Desember.
Yulia, Anna. 2005. Cara Menumbuhkan Minat Baca Anak. Jakarta: Gramedia.

bahan bacaan ujian akhir syariah Prodi Muamallah

Principles Islamic Banking
Islamic banking has the same purpose as conventional banking except that it operates in accordance with the rules of Shariah, known as Fiqh al-Muamalat (Islamic rules on transactions). The basic principle of Islamic banking is the sharing of profit and loss and the prohibition of riba´ (interest). Amongst the common Islamic concepts used in Islamic banking are profit sharing (Mudharabah), safekeeping (Wadiah), joint venture (Musharakah), cost plus (Murabahah), and leasing (Ijarah).
In an Islamic mortgage transaction, instead of loaning the buyer money to purchase the item, a bank might buy the item itself from the seller, and re-sell it to the buyer at a profit, while allowing the buyer to pay the bank in installments. However, the fact that it is profit cannot be made explicit and therefore there are no additional penalties for late payment. In order to protect itself against default, the bank asks for strict collateral. The goods or land is registered to the name of the buyer from the start of the transaction. This arrangement is called Murabaha. Another approach is Ijara wa Iqtina, which is similar to real-estate leasing. Islamic banks handle loans for vehicles in a similar way (selling the vehicle at a higher-than-market price to the debtor and then retaining ownership of the vehicle until the loan is paid).
There are several other approaches used in business deals. Islamic banks lend their money to companies by issuing floating rate interest loans. The floating rate of interest is pegged to the company's individual rate of return. Thus the bank's profit on the loan is equal to a certain percentage of the company's profits. Once the principal amount of the loan is repaid, the profit-sharing arrangement is concluded. This practice is called Musharaka. Further, Mudaraba is venture capital funding of an entrepreneur who provides labor while financing is provided by the bank so that both profit and risk are shared. Such participatory arrangements between capital and labor reflect the Islamic view that the borrower must not bear all the risk/cost of a failure, resulting in a balanced distribution of income and not allowing lender to monopolize the economy.
And finally, Islamic banking is restricted to Islamically acceptable deals, which exclude those involving alcohol, pork, gambling, etc. Thus ethical investing is the only acceptable form of investment, and moral purchasing is encouraged. Islamic banking is synonymous with full-reserve banking, with banks achieving a 100% reserve ratio.[2] However, in practice, this is not always the case.[3]
Islamic banks have grown recently in the Muslim world but are a very small share of the global banking system. Micro-lending institutions founded by Muslims, notably Grameen Bank, use conventional lending practices and are popular in some Muslim nations, especially Bangladesh, but some do not consider them true Islamic banking. However, Muhammad Yunus, the founder of Grameen Bank and microfinance banking, and other supporters of microfinance, argue that the lack of collateral or excessive interest in micro-lending is consistent with the Islamic prohibition of usury (riba).[1][2]